Welcome in Paris

by - July 21, 2018

After 16 hours on flight, 2 times transit in SG and Abu Dhabi, then we finally arrived in Paris 08.00 in the morning with surprising temperature, 13 degree celcius.

"Hah.. 13 derajat?" kata si boss sesaat setelah pesawat kami mendarat.

Saya ga langsung menanggapi, hanya dalam hari saya berkata, ah masa sih, mungkin itu suhu waktu masih di atas sebelum turun. Tapi semuanya segera terjawab begitu kami keluar dari pesawat. Brrr... angin dingin langsung terasa menusuk dada saya yang saat itu hanya menggunakan t-shirt yang tipis. Saya segera menutup jaket saya dan memakai syal. Sambil gendong si boy, saya pun buru-buru berlari ke dalam bus yang telah menunggu kami tidak jauh dari pesawat.

"Gila nih sedingin ini, kita salah bawa baju ini sih," ujar salah seorang penumpang asal Indonesia yang lain yang kebetulan turun dari pesawat bareng sama saya. Dalam hati saya bilang lagi, bener ini sih salah bawa kostum, karena baju yang kami bawa itu rata-rata baju musim panas berbahan tipis. Soalnya pas mau packing itu saya konfirmasi dulu sama tante saya yang ada di Belanda, tanya keadaan dan cuaca di sana, dan dia bilang bawa baju biasa aja, jaket ga usah yang tebel karena udah mulai panas. Tapi ternyata... moga-moga nanti agak siang suhu udara akan naik dan naik, yah setidaknya 20-25 derajat lah.

Masuk ke gedung airport, berasa agak hangat, tapi lupakanlah soal cuaca karena sekarang saatnya ngantri di imigrasi. Cukup panjang antriannya, tapi yang melegakan adalah inigrasi Paris tidak seseram imigrasi Singapore. Mereka tidak banyak tanya-tanya, bahkan tidak tanya apa-apa, cuma lihat passport, cocokin muka, cap, dan kita boleh pergi. Simple banget kan?? Beda banget sama pas kemarin saya transit di Singapore. Karena beda pesawat jadi kami harus keluar dan melewati imigrasi. Melewati imigrasi Singapore berarti harus mengisi departure card dan karena status kami cuma transit, jadi saya tidak mengisi hotel di mana kami akan menginap karena memang tidak akan menginap. Tapi entah kenapa itu dipermasalahkan oleh si petugas, dia bilang dengan ketusnya bahwa saya seharusnya mengisi nama hotel dengan terminal di mana nanti saya akan berangkat. Nah.. yang begini memangnya saya tahu? Petunjuk mengenai hal ini pun tidak ada sama sekali!! Ya sudahlah, kalau diingat lagi jadi bete sendiri, yang sudah berlalu biarkanlah berlalu.

Lolos dari imigrasi, kami pun segera mengambil bagasi kami. Dan begitu saya mendapatkan koper saya yang besar, omg, gembok koper saya hilang. Tapi koper masih dalam keadaan tertutup. Saya langsung  membuka koper saya dengan rasa cemas. Bukan cemas karena takut kehilangan barang, tapi cemas karena takut ada yang masukin barang terlarang ke dalam koper saya. Tapi Puji Tuhan, koper saya aman. Tarik nafas legaaa.. Next adalah saya harus membeli SIM CARD. Ini penting banget mengingat paket dari Indo itu mahal sedangkan kita perlu banget internet buat lihat jadwal kereta ataupun lihat Google Map.

Sebelum saya berangkat, saya sudah banyak baca-baca tentang Sim Card ini. Awalnya atas rekomendasi beberapa orang, dari beberapa option, pilihan saya jatuh pada Java Sim Card. Java Sim Card ini mencakup sekitar 45 negara Eropa dan menawarkan jumlah kuota yang beragam, mulai dari 1GB - 10GB. Harganya pun beragam, untuk yang 1GB itu 300rb dan yang termahal 10GB adalah 1,4jt. Kartu ini hanya bisa digunakan untuk internet, berlaku 30 hari dari tanggal pengaktifan, dan bisa digunakan untuk Tethering. Kemrin itu saya berencana untuk beli kuota yang 3GB dengan harga 650rb. Tapi pas mau order, ternyata seluruh SIM Card untuk Eropa dengan sold out dan belum tahu lagi kapan akan restock. Akhirnya saya coba search dari sharing orang-orang di grup backpacker international dan dapet rekomendasi tentang Orange Holiday Sim Card dan Vodafone. Perbedaan diantara keduanya adalah kuota, masa aktif, dan negara asal simcard tsb. Orange itu dari Perancis, memiliki masa aktif 15 hari dengan kuota 10GB dan harganya 39,99 Euro atau sekitar 675rb, ini jauh lebih murah dibanding kalau saya beli Java Sim Card karena kalau Java kan yang kuota 10GB itu hargnya 1,4jt. Sedangkan Vodafone itu dari Belanda. Kuotanya lebih sedikit dari Orange, tapi harganya kalau dihitung-hitung kurang lebih sama dengan Orange. Tapi berhubung saya masuk di Paris dan need internet as soon as posible, jadi saya beli Orange Sim Card saja yang lebih mudah di dapat. Untuk pembelian Orange Sim Card di bandara CDG, kalau di terminal 2, setelah keluar, berjalanlah ke kiri sekitar 300m di sana ada mini market namanya RELAY. Hanya tinggal bilang saja sama yang jaga cashier kalau kita mau beli Orange Sim Card, mereka sudah paham koq. Lalu kita hanya tinggal mengikuti petunjuk aktivasinya saja.

Orange Holiday SIM CARD

Selesai masalah SIM CARD, hal selanjutnya adalah transportasi menuju ke apartment kami di Belleville. Waktu saya masih di Indo, saya sudah mempelajari bagaimana caranya dari airport menuju apartment kami. Saya juga sudah tanya host saya dan juga teman saya yang kebetulan tinggal di Paris. Ada 3 alternatif, yang pertama adalah naik train ke Gare du Nord and then sambung naik Metro ke Belleville. It seems easy but temen saya bilang dari stasiun trainnya Gare du Nord ke stasiun Metro-nya itu harus turun tangga. Sedangkan host saya menyarankan dari airport turun di stasiun Les Chatelles, tapi temen saya bilang Les Chatelles itu luar biasa padatnya dan banyak copet. Yang kedua adalah bus. Dari airport naik bus ke Opera (city), tapi dari opera ini ke BElleville harus naik bus lagi atau Metra 2x sambung, so skip buat bus. Yang terakhir adalah taksi. Sebenarnya ini adalah cara yang paling gampang dan yang justru paling saya hindari, karena yang pasti naik taksi di Paris itu muahaalll banget. Tapi balik lagi, setelah melihat keadaan kami sekarang yang butuh banget istirahat dan kayanya mustahil untuk angkat koper naik train dan nyambung lagi naik metro belum lagi cari alamat, wowww.. akhirnya saya memutuskan untuk naik taksi saja.

Sama seperti di kota/ negara lain, setiap airport punya taksi corner atau tempat di mana kita bisa antri untuk naik taksi. Tapi beda sama di Jakarta atau Singapore, di Paris tidak ada antrian panjang di taksi corner, singkatnya, kita bisa naik taksi tanpa ngantri. Sayangnya pada waktu itu saya tidak tahu kalau taksi itu punya pengeculian dalam hal membawa penumpang anak-anak. Setahu saya, di Paris dan kota-kota lain di Eropa, anak-anak wajib untuk memakai carseat bila bepergian dengan mobil, jadi saya pikir itu juga berlaku untuk taksi. Bilanglah saya pada si petugas taksi bahwa saya perlu taksi dengan 2 buah carseat untuk ke Belleville. Si petugas taksi itu lalu mengontak seseorang dan dia bilang sama saya, kalau mau harganya 56 Euro atau sekitar hampir 1 juta kalau di rupiah kan.. woww kann... Tapi yah karena situasi dan keadaan akhirnya kami pun setuju untuk naik taksi dengan harga segitu.

Menunggu sekitar 10 menit akhirnya taksi kami datang. Berbeda dengan taksi-taksi pada umumnya yang berbentuk mobil sedan, taksi kami ini berupa minivan keluaran dari Mercedes. Seorang pria memakai jas kemudian turun dari tempat kemudi, dengan sigap dia langsung membukakan pintu mobil untuk kami setelah memasang carseat dan booster seat terlebih dahulu, lalu setelah kami masuk, dia mengangkut semua barang bawaan kami ke dalam mobilnya. Beda luar, beda juga dalamnya, taksi kami ini disebut sebagai family taksi, berkapasitas 6-7 orang penumpang dengan bangku yang berhadapan. Agak cemas sebetulnya saya karena si boy ini tidak biasa pakai carseat di mobil. Tapi puji Tuhan berkat gadget juga, kali ini dia tidak protes ketika didudukan dan diikat di carseat.




Taksi mulai melaju, mulailah perjalanan kami menuju downtown Paris. Surprise bahwa di paris pun ternyata macet dan driver taksi kami bilang bahwa di Paris ini memang selalu macet di jam-jam dan tempat-tempat tertentu.. hmm sama yah dengan di Indo :D Ngobrol punya ngobrol, ternyata driver kami yang berpenampilan necis ini berasal dari Kamboja dan sudah sekitar 8 tahun tinggal di Paris. Merasa sama-sama berasal dari Asia Tenggara, driver kami ini sedikit bercerita tentang Paris dan wilayah-wilayah yang harus diwaspadai. Dan ketika kami bilang bahwa kami akan tinggal di Belleville, dia bilang lebih baik agar kami berhati-hati jika mau naik Metro di daerah sana, karena itu bukan daerah elit, banyak pendatang dan sedikit rawan kejahatan. Hati saya jadi was-was mendengarnya, karena setahu saya, Bellevilla adalah China Town, tapi tentang daerahnya elit ayau bagaimana, saya tidak mengerti. 

Setelah sekitar 45 menit, akhirnya kami sampai di Belleville. Di tengah perjalanan tadi si boss bilang, bagus tadi ngga naik kreta, karena ternyata dari airport jauh juga. Memang agak jauh, menurut google pun, kalau pakai train dan sambung naik Metro itu perlu waktu sekitar 1 jam lebih. Kami sangat beruntung karena driver taksi kami sangat baik. Dia bahkan turun untuk menanyakan alamat apartment kami benar atau tidak dan setelah dia yakin benar dan tahu dimana tempatnya, barulah dia menurunkan barang-barang kami. Sekali lagi sebelum berpisah, dia meminta kami agar berhati-hati jika naik transportasi umum di daerah sana.

Awalnya tidak terbayang dengan apa yang driver kami katakan, tentang daerah pendatang dan bukan daerah elit, tapi setelah kami turun dan berjalan masuk ke halaman apartment kami, saya sedikit demi sedikit mulai mengerti. Daerah itu banyak pendatang terutama orang Timur Tengah dan Asia (makanya disebut China Town) dan memang daerah itu juga jauh dari kata elit bahkan menurut saya cenderung agak kumuh karena beberapa spot banyak sampah dan bau pesing. Hilang sudah bayangan saya tentang apartment yang nyaman dan tenang. Tapi tidak semuanya jelek, karena di sana banyak orang Asia, jadi ada banyak toko Asia dan Chinese restorant di dekat-dekat sana. Statiun metro Belleville dan Carefour berada tepat di depan apartment.

Sampai di depan gedung apartment saya, sedikit bersyukur karena gedung apartment saya sedikit lebih bagus dari gedung apartment sebelah. Host kami tidak ada di tempat karena harus bekerja pada hari itu, tapi dia sudah menitipkan kunci untuk kami di ruang pengurus apartment, sekaligus memberitahu kami pass code untuk masuk ke pintu utama, jadi ketia kami datang kami hanya tinggal mengambil kunci dan masuk ke apartment. Apartment kami terletak di lantai 6, jadi kami naik lift langsung ke lantai 6. Berasa lega karena apartment ini keamanannya bagus menurut saya. Masuk ke gedung harus pakai kode, dan untuk naik lift ke lantai yang kita tuju pun harus pakai kode atau pakai sensor yang menempel di kunci. Jadi ga sembarang orang bisa masuk kecuali dia punya pass code kita. Setibanyadi lantai 6, saya melihat hanya ada 2 pintu di sana. Satu kanan dan satu kiri dan semuaya bisa dijangkau hanya dengan beberapa langkah saja. Apartment kami adalah yang sebelah kanan. Awalnya waktu saya memasukkan kunci, saya mengalami kesulitan dalam membuka pintu, sampai sempet mikir 'waduh nih orang salah kasih kunci,' tapi ternyata pintu sulit terbuka karena cara membukanya yang salah, bukan kuncinya. Kekhawatiran saya semula terobati begitu saya akhirnya berhasil membuka pintu apartment sewaan kami. Saya pun menarik nafas lega. Apartment kami sangat nyaman, dengan penataan interior ala parisian chic. Tidak ada beda sama sekali dengan fot yang saya lihat di AirBnb sewaktu saya booking bahkan ini melebihi ekspektasi saya.





Apartment itu terdiri dari 3 kamar tidur, dengan 1 kamar mandi, ada ruang tamu yang jadi satu dengan ruang makan, lalu dapur yang hanya dipisahkan oleh meja bar yang terbuat dari kayu. Dan yang paling saya suka adalah, dapurnya lengkap banget, mulai dari alat masak sampai bumbu-bumbu dapur semua ada dan host saya memperbolehkan kami menggunakannya. Recommended banget deh pokonya hostnya. Hitung-hitungan sama si boss, secara keseluruhan mungkin luas apartment itu sekitar 100m2 dan semua tampak luas. Beda banget sama apartment 3 kamar tidur di Indo yang sering saya lihat, kanan kiri mentok. Di sini, bocah-bocah saya bahkan bisa main hide and seek. Dalam hati, kalau punya apartment kaya begini sih saya mau dah tinggal di apartment :)

Dan dimulailah petualangan kami...





You May Also Like

0 comments