The Real Paris

by - September 01, 2018

Bicara soal Paris, yang ada di pikiran saya adalah, woww.. one of the beautiful city in the world. Banyak orang yang suka sekali ke Paris, termasuk artis dan model2 dunia sana. Dan bisa pergi ke Paris (lebih tepatnya sih bisa balik lagi ke Eropa) buat saya adalah seperti one of my dreams come true.

Well... mungkin sama seperti orang-orang lain yang juga bepergian dengan ala koboy atau istilah kerennya backpacker, sebelum pergi saya juga sibuk cari sebanyak-banyaknya info tentang negara/ kota-kota yang akan saya kunjungi. Apalagi saya pergi bawa 2 bocah, jadi harus sedikit lebih detail dibanding dengan kalau saya pergi sendiri. Kalau sekarang sih cari infonya ga sesusah dulu, karena udah banyak banget yang ngepost tentang backpacker-an, salah satunya adalah di group FB yang saya follow yaitu Backpacker International. Lengkap banget di sana, dari transport, hotel, makanan, tujuan wisata, dll ada di sana asalkan kita ngga males baca, karena semua info tsb berupa sharing2 dari orang-orang.

The Bronx in Paris

Setelah melewati segala rintangan dari aiport menuju ke apartment, perjalanan kami di Eropa pun siap dimulai. Angin dingin kembali terasa ketika kami menapakkan kaki kami di luar gedung apartment. Masih 13 derajat Celcius dan saat itu sekitar pukul 2 siang. Menurut itinerary yang saya buat, tempat pertama yang akan kami kunjungi adalah The Sacre-Coeur Basilica Montmartre yang terletak di bukit Montmartre yang merupakan titik tertinggi kota Paris. 

Menurut 'kamus pintar' saya, dari Belleville, kami harus naik Metro M2 ke Stasiun Anvert. Dari apartment kami ke stasiun Metro Belleville sangatlah dekat. Keluar dari kawasan apartment tinggal jalan kira2 200m sudah langsung kelihatan lambang Metronya. Sembari melangkah ke sana, saya memperhatikan sekeliling saya. Menurut saya tempat ini kurang tepat kalau disebut sebagai China Town. This place makes me feel like i was in the Bronx. Saya inget lagi kata-kata driver taksi tadi bahwa daerah itu adalah daerah pendatang dan bukan daerah elite, jadi ya udah terima aja.

Sebenarnya saya juga sudah tahu kalau di Perancis itu banyak orang kulit hitam dan sebagian dari mereka mempunyai kewarganegaraan Perancis. Sebut saja pemain sepakbola Paul Pogba atau  Bacary Sagna. Tapi bagaimana awalnya mereka bisa tinggal di Perancis atau migrasi ke Perancis, itu yang membuat saya penasaran.

Kata temen saya yang sudah tinggal di sana, sejarahnya adalah ketika jaman perang dulu, Perancis porak poranda dan banyak kehilangan penduduknya dalam perang. Karena itulah kemudian mereka membawa orang-orang dari negara-negara yang mereka jajah yang mostly adalah negara-negara di Afrika untuk masuk dan membangun kembali Perancis. Lalu orang-orang tersebut membawa serta keluarganya untuk tinggal di Perancis. Nah, jadilah Perancis seperti sekarang ini. Tapi temen saya bilang, tidak perlu takut pada mereka, karena rata-rata mereka baik koq, justru yang terkenal yang suka nyopet itu adalah orang kulit putih yang berpenampilan seperti gelandangan/ gipsy.

Transportasi di Paris

Selama berada di Paris 3 hari, saya mencatat semua jalur Metro yang harus kami tumpangi untuk mencapai lokasi tujuan kami. Kenapa saya memilih untuk naik Metro? Yahh karena saya baca-baca dan ada ungkapan yang katanya 'Kalau ke Paris tidak lengkap kalau kita tidak mencoba naik Metro Paris,' nahhh.. penasaran-lah saya. Tapi kalau dipikir-pikir, setelah saya sendiri mencoba naik Metro, saya menyimpulkan bahwa orang senang naik Metro karena lebih mudah dijangkau dan lebih cepat. Tapi untuk Metronya sendiri, hmmm.. masih kalah bagus sih sama MRT di Singapore kalau menurut saya.

Source : Google

Lalu selain Metro, adakah transportasi lain. Tentu saja aja.

Jadi kalau bicara soal transportasi umum di Paris, pertama kita harus tahu kita mau kemana aja, lalu tempat itu letaknya di daerah/ zona yang mana, dan yang terakhir tentu saja tiket apa yang harus  dibeli untuk transportasi umum di Paris.

Paris itu sendiri terbagi jadi 5 zone. Zone 1 adalah pusat kota dan hampir semua objek wisata Paris yang terkenal seperti Eiffel, Notre-Dame, Louvre Museum itu berada di zona ini. Versailles ada di zona 2, lalu Disneyland dan CDG Airport itu berada di zona 5. Untuk alat transportasi umum dalam kotanya sendiri juga ada beberapa macam. Selain Metro yang terkenal, tentu saja ada bus, lalu RER (train).

Untuk tiket tidaklah ribet, karena satu tiket itu bisa mencakup semua transport, yang membedakan hanyalah zona dan masa berlaku tiketnya. Jadi kalau mau beli tiket transport bisa disesuaikan dengan tempat-tempat kemana kita mau pergi.  Kalau cuma mau liat menara Eiffel, Arc de Triomphe, Notre-Dame gitu-gitu sih ga perlu beli tiket yang mencakup 5 zona. Dan untuk kami, saya memilih tiket single, namanya t+ ticket yang hanya mencakup zona 1 saja dengan harga 14,90 Euro  untuk 10 tiket. Sedangkan kalau beli satuan, harganya 1,90 Euro. Harga tiket dewasa dan anak-anak (6-12 tahun) tidaklah sama. Tiket anak-anak harganya lebih murah 50% dari tiket orang dewasa, sedangkan untuk anak di bawah 6 tahun, ngga perlu beli tiket apapun alias masih gratis.

Metro ini sistemnya sama kaya di Singapore, selama kita ga keluar stasiun Metro, kita bisa bebas naik turun Metro kemana pun. Nah tiket ini jangan sampe ilang karena akan dipake ketika kota mau keluar stasiun Metro. Untuk jelasnya tentang pilihan tiket dan transportasi di Paris bisa lihat diSINI. Dan kalau mau naik Metro, bisa lihat jalurnya di web parisbytrain.com.

Sedikit cerita, sewaktu saya hendak membeli tiket di salah satu mesin yang berjejer di depan pintu masuk Metro, tiba-tiba seorang pria muda berkulit hitam menghampiri saya dan menawarkan tiket Metro. Dia bilang tiket yang dia jual sama saja dengan tiket yang dijual di mesin. Saya sudah menolak, tapi ini orang agak maksa. Sempet sebenernya tergoda untuk beli tiket dari dia tapi mengingat pepatah, "JANGAN PERCAYA BANTUAN ORANG ASING DI PARIS," akhirnya saya tetap menolak dan beli tiket dari tourist information saja biar ga salah.

Kurang Ramah Anak & Disable

Ketika saya tiba di depan papan bertuliskan Belleville dengan lambang metro di sampingnya, saya hanya melihat tangga biasa, tidak ada eskalator ataupun petunjuk tentang adanya lift. Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, masa sih untuk kota sebesar Paris yang secara di Eropa, ngga menyediakan fasilitas lift atau setidaknya eskalator untuk turun/ naik di statiun Metro. Gimana ceritanya dengan orang-orang yang bawa stroller seperti kami ini atau orang-orang yang menggunakan kursi roda. Karena penasaran, turunlah saya duluan ke bawah dengan harapan bisa menemukan lift. Tapi setelah lihat kanan kiri dan akhirnya bertanya ke seorang wanita yang juga bawa stroller yang sepertinya adalah imigran dan dia bilang kalau dia menurunkan strollernya dengan cara di angkut, then pupus lah harapan saya menemukan lift untuk turun ke bawah. Damn!!

Source : Google

Cukup perlu tenaga untuk mengangkat turun stroller tandem plus si boy yang duduk di sana. Kebayang dah hari-hari berikutnya harus dimulai dengan mengangkat turun dan naik stroller ke statiun Metro. Duhh, moga-moga cuma di sini aja yang ngga ada lift/ eskalator, saya berharap dalam hati. Tapi ternyata... di stasiun Metro Anvers pun tidak ada lift atau eskalator, yang ada cuma tangga dan yang ini malahan lebih parah dibanding di Belleville. Kalau di Belleville tangganya pendek dan cuma satu doang, di Anvers ini tangganya tinggi dan ada 2, naik lagi! Yahh.. apa boleh buat, itung-itung gantiin kelas body pump-nya koko Randy aja deh dibanding ngeluh, toh ngeluh ga nolong sama sekali.

Saya menilai kalau Paris kurang ramah anak/ disable adalah karena dari semua statiun Metro yang kami singgahi, hanya ada SATU statiun yang memiliki lift yaitu Bir-Hakeim yang merupakan stasiun dekat menara Eiffel. Jadi kalau bawa stroller, saran saya sih jangan naik Metro, kecuali kalau mau gotong turun naik. Mending naik bus saja. Tidak apa-apa lama sedikit, tapi kan lebih enak tinggal dorong stroller masuk ke dalam bus.

Nah, singkat cerita, akhirnya pada malam pertama itu kami memutuskan untuk naik bus pulang ke apartment dari Hotel de Ville. Untuk petunjuk nomor bus/ metro saya selalu melihat dari Rome2Rio. Ada aplikasinya juga, jadi lebih gampang kalau mau dipakai dibanding harus buka browser dulu. Sumpah, aplikasi ini membantu banget. Lengkap banget penjelasannya dan dia juga bisa nge-link sama Google Map. Jadi kalau misalnya saat ini kita ada di Notre-Dame dan mau naik bus di Hotel de Ville, kita harus jalan ke arah mana untuk bisa ke Hotel de Ville itu bisa kita liat. Helpful banget pokoknya.

Lanjut, setelah menunggu sekitar 20 menit, datanglah bus yang harus kami tumpangi. Cukup lama putar-putar, akhirnya sampai juga di Belleville. Sayangnya dari halte bus Belleville ke apartment kami itu harus jalan lagi sekitar 15 menit. Kami tiba di halte Belleville itu  sekitar jam 10 malam dan hari baru saja berubah menjadi gelap. Sebenarnya jalan tidak apa-apa, tapi karena di sana daerahnya cukup menyeramkan plus kurang penerangan, jadi kami berjalan dengan perasaan was-was alias parno. Kapok deh pulang malam-malam naik bus, next kalau mau pulang naik bus kayanya harus kalau hari masih terang deh.

Expectation vs Reality

Paris is one of the most beautiful city in the world. Well.. it could be yes and it could be not.

Sewaktu saya cari-cari apartment buat di Paris, pilihan saya ada 2, Belleville dan Montmartre. Karena ngga ngerti tentang daerahnya, akhirnya saya tanya sama teman saya yang tinggal di Paris, "Sis, Belleville sama Montmartre mending mana?" Lalu dia bilang, "Belleville itu Chinatown, banyak resto asia dan toko asia, Montmartre kawasannya lebih elite sih tapi jalannya turun naik,". Waktu dia bilang begitu, saya langsung menjatuhkan pilihan saya ke Belleville, karena saya pikir kalau jalannya naik turun, repot juga kalau bawa stroller kan. Lagian kalau di Chinatown, kita ngga perlu takut ngga bisa makan, itulah harapan saya. Tapi kenyataannya, Belleville jauh dari bayangan saya, tapi untungnya apartmentnya nyaman dan letaknya strategis.

Begitu kami tiba di Montmartre - setelah menggotong naik stroller tandem plus si boy - barulah saya 'ngeh' dengan kata elite yang teman saya bilang itu. Apalagi ketika kami berada di daerah Montparnasse, woww.. beda banget dengan di Belleville. Lingkungannya, tata kotanya, bangunannya,  jalanannya, orang-orangnya. Kami menyusuri daerah itu jalan kaki hingga ke Notre-Dame dan di sinilah baru saya bisa bilang : Paris is a beautiful city.

Source : Google


Hari kedua, teman saya mengajak kami berjalan menyusuri Champ Elysees yang terkenal dengan toko-toko middle-high nya di sepanjang jalan. Daerah ini pun cantik. Sesekali saya melihat ada polis berjaga-jaga di beberapa sudut. Teman saya bilang bahwa saat ini setiap daerah-daerah wisata di Paris dijaga ketat oleh polisi berseragam maupun polisi dengan pakaian preman. Yah sudah sewajarnya sih karena Paris kan memang terkenal dengan copetnya yang ganas. Ciri-ciri copet yang temen saya bilang adalah, berpakaian seperti gipsy dan berpura-pura nawarin sesuatu, dan begitu kita tertarik, langsung deh teman-teman si copet itu datang ngerempuk. Sasaran utamanya adalah turis Asia. Kenapa? Karena mostly turis Asia itu selalu membawa uang cash, sedangkan turis eropa tidak suka bawa cash. Jadi saran buat yang mau ke Paris, lebih baik ngga usah bawa uang cash banyak2. bawa saja secukupnya, sisanya kita bisa bayar pake kartu kredit.

Satu hal yang membuat Paris kurang enak dilihat adalah banyaknya 'gelandangan' yang berkeliaran di jalan. Mereka tidak segan untuk ngemis pada tiap orang yang mereka temui. Dan parahnya, beberapa dari mereka bahkan tidur di jalanan seperti di bangku yang ada di trotoar ataupun di dalam box telepon umum. Untuk kota seterkenal Paris, saya pikir seharusnya tidak seperti itu. Hal ini terjadi pastilah ada penyebabnya. Lalu teman saya bilang, kalau di Paris itu ternyata para gelandangan yang tidak punya pekerjaan itu diberi uang tunjangan oleh pemerintah. Pantas saja mereka lebih milih untuk jadi gembel dibanding bekerja, karena kalau mereka kerja, pemerintah tidak akan kasih tunjangan lagi.

Kalau ditanya, maukah saya balik lagi ke Paris?? Tentu saja saya mau, tapi next time, mungkin saya akan lebih mengeksplor keluar kota Paris, seperti Colmar, Strassbourg, Lourdess,  Annecy, dll.




You May Also Like

0 comments